Dramatisir Kesedihan
Pernah Mati lalu hidup lagi.
Bangun lalu tidur lagi.
Dua penyangga
tapi tak kokoh akan segera menimpa.
Bekas luka bulan lalu masih ada terbentang dipelipis dekat mata.
Aku kira
kami masih bisa bertahan lama.
Lalu sedikit
memaksa karna takut kehilangan .
Tapi mimpi
buruk tetaplah mengangu tidur.
Punya banyak
sodara tidak membuatku bahagia.
Sendirian rasanya
menyenangkan dari pada bergabung bersama mereka lalu merasa kesepian ditengah
keramaian.
Hanya menyesakan
dan menjadi beban.
Sudah cukup
Bab beramah tamahnya mari kita selesaikan dengan tidak saling sapa.
Penyanga atap
usang tak bertiang.
Butuh perbaikan dari sisi kanan.
Menurut
penglihatan yang rusak hanya sebelah.
Tapi ternyata
dua-duanya sama saja, akan patah dan roboh lalu menimpa yang hidup dibawa sana.
Tekanan yang awalnya kukira bagian dari kematian nyatanya bukan, karna ternyata itu yang dikatakan dengan masa depan.
Bagi kau
yang hanya bisa melihatku mati dengan cara paling ngeri .
Akan ku
hantui kau sampai kita tepat pada posisi yang sama.
Kau memang
tidak pernah sayang, hanya melakukannya sebagai kewajiban.
Ternyata bertahan
dari kesakitan itu melelahkan, kukira akan lebih baik dari sebuah perpisahaan.
Sebenarnya ingin
muntah jika aku merasa paling menyedihkan dan mendramatisir keadaan.
Namun kenyataanya
walaupun aku mati setidaknya sebelum mereka datang mencabut diri, ada
perlawanan terhadap para pencipta sakit yang berulang kali kambuh tanpa
rehabilitasi.
Ingat ketika
aku mati dengan mengiris urat nadi, kau
diam sampai yang berbaring dilantai tidak bernapas dan bukan bagian dari
kalian.
Mulai hari
akan aku bebaskan kalian dari kewajiban yang membawa penderitaan .
Mari jangan
cari satu sama lain.
Mari jadi
asing.
Jadi biarkan
aku mati dan lari dengan bayangan ku sendiri.
Jaga diri
yah nanti kita mengobrol lagi.
Tetaplah ‘waras’
bagi kalian yang berjuang karna yang mati ingin hidup lagi hanya untuk
mengembalikan waktu yang mereka rengut secara paksa dan membawa derita.
Komentar
Posting Komentar